Jumat, 14 Agustus 2020
Kamis, 13 Agustus 2020
Jumat, 07 Agustus 2020
Rontokan Bulu Kucing di Badan, Apakah Najis ?
Baiklah silahkan kalian baca dan simak baik-baik .😀
مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ
“Sesuatu yang terpisah dari hewan yang hidup, maka statusnya seperti
halnya dalam keadaan (menjadi) bangkai” (HR Hakim).
Namun ketentuan hukum di atas, dikecualikan ketika bagian tubuh yang
terpotong adalah rambut atau bulu dari hewan. Status rambut atau bulu yang
terputus dari bagian hewan tidak langsung dihukumi sama seperti bangkai dari
hewan tersebut, tapi terdapat perincian: jika bulu yang rontok berasal dari
hewan yang halal untuk dimakan maka dihukumi suci. Seperti bulu yang rontok
dari ayam, kambing, sapi, dan hewan-hewan lain yang dagingnya halal
dikonsumsi. Sedangkan jika bulu yang rontok berasal dari hewan-hewan yang
tidak halal dimakan dagingnya maka bulu tersebut dihukumi najis. Seperti
bulu yang rontok pada hewan tikus, anjing, keledai, atau hewan-hewan lain
yang dagingnya haram dimakan.
Lalu bagaimana dengan bulu kucing yang rontok? Bukankah kucing
merupakan salah satu hewan yang haram untuk dimakan?
Dalam hal ini, para ulama tetap mengkategorikan bulu yang rontok dari
kucing sebagai benda yang najis. Meski demikian, najis tersebut dihukumi
ma’fu (ditoleransi, dimaafkan) ketika dalam jumlah sedikit. Ditoleransi pula
dalam jumlah banyak, khusus bagi orang-orang yang sering berinteraksi dengan
kucing dan sulit menghindari rontokan bulu kucing, misal bagi dokter hewan
dan petugas salon kucing yang kesehariannya selalu berinteraksi dengan
kucing. Ketentuan hukum ini seperti yang teringkas dalam kitab Hasyiyah
al-Baijuri ala Ibni Qasim al-Ghazi:
(وَمَا قُطِعَ مِنْ) حَيَوَانٍ (حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ اِلّا الشَّعْرَ) اى
المَقْطُوعَ مِن حَيَوانٍ مَأكُولٍ، وَفِى بعضِ النُّسَخ الّا الشُّعُورَ
المُنتَفِعَ بها فى المَفاَرِش وَالمَلابِس وغيرِها (قوله المَقْطُوع مِنْ
حَيَوانٍ مَأْكُولٍ) اى كالمعَزِّ مالم يكُنْ عَلى قِطعَةِ لحمٍ تُقصَدُ او على
عُضْوٍ بينٍ من حَيَوانٍ مَأكولٍ والا فهو نجسٌ تبعا لذلك، وخرَج بالمأكول
غَيرُه كالحِماَر والهِرَّة فشَعْرُه نجسٌ لكِنْ يُعفى عن قَليلِه بل وعن
كَثيرِه فى حق مَنِ ابتُلِى به كالقَصَّاصِين. (حاشية بيجوري على ابن القاسم
الغازي. جزء الثاني صفحة 290)
“Sesuatu yang terputus dari hewan yang hidup, maka dihukumi sebagai
bangkai, kecuali rambut yang terputus dari hewan yang halal dimakan. Dalam
sebagian kitab lainnya tertulis ‘kecuali rambut yang diolah menjadi
permadani, pakaian dan lainnya.
Rambut yang terputus dari hewan yang halal dimakan ini seperti bulu pada
kambing. Kesucian rambut ini selama tidak berada pada potongan daging yang
sengaja dipotong, atau berada pada anggota tubuh yang terpotong dari hewan
yang halal dimakan. Jika rambut berada dalam dua keadaan tersebut maka
dihukumi najis, sebab mengikut pada status anggota tubuh yang terpotong
itu. Dikecualikan dengan redaksi ‘hewan yang halal dimakan’ yakni rambut
atau bulu hewan yang tidak halal dimakan, seperti keledai dan kucing. Maka
bulu dari hewan tersebut dihukumi najis. Namun najis ini dihukumi ma’fu
ketika dalam jumlah sedikit, bahkan dalam jumlah banyak bagi orang yang
sering dibuat kesulitan dengan bulu tersebut, seperti bagi para tukang
pemotong bulu”
(Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri ala Ibni Qasim al-Ghazi, juz
2, hal. 290).
Salah satu hal yang ditimbulkan dari status najis ma’fu pada bulu
yang rontok dari kucing adalah ketika bulu kucing ini mengenai air yang
kurang dari dua kullah, maka air tersebut tidak dihukumi najis dan tetap
dapat dibuat untuk bersuci. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Fath
al-Wahab:
(ولا بملاقاة نجس لا يدركه طرف) أي بصر لقلته كنقطة بول (و)لا بملاقاة (نحو
ذلك) كقليل من شعر نجس .
“Air tidak najis sebab bertemu dengan najis yang tidak dapat dijangkau
oleh mata, karena sangat kecilnya najis tersebut, seperti setetes urin
(kamih) . Dan juga dengan bertemu najis yang lain, seperti terkena bulu
najis yang sedikit” (Syekh Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, juz 1, hal. 28)
Sedangkan hal yang menjadi tolak ukur dalam membatasi sedikit
banyaknya jumlah bulu yang rontok dari kucing adalah ‘urf (penilaian
masyarakat secara umum). Jika orang-orang menyebut bulu kucing yang telah
rontok dianggap masih sedikit, seperti dua atau tiga bulu, maka dihukumi
najis tersebut ma’fu. Sedangkan ketika mereka menganggap bulu yang rontok
banyak, maka dihukumi najis yang tidak dima’fu, kecuali bagi orang-orang
yang sulit menghindarinya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rontokan bulu kucing
merupakan najis yang ditoleransi (ma’fu) selama masih dalam jumlah yang
sedikit, dan najis yang tidak ditoleransi ketika dalam jumlah banyak,
kecuali bagi orang yang sering dibuat kesulitan dengan banyaknya bulu rontok
yang bertebaran di sekitarnya.
Oleh sebab itu, memelihara kucing memang diperbolehkan. Namun
sebaiknya kita tidak teledor dalam menjaga kesucian pakaian dan tubuh kita
karena banyaknya bulu kucing yang rontok dan mengenai pakaian dan tubuh
kita. Hal ini dimaksudkan agar segala ibadah yang kita lakukan benar-benar
terhindar dari perkara-perkara najis yang disebabkan oleh keteledoran diri
kita sendiri. Wallahu 'alam.
Langganan:
Postingan (Atom)